Konsil Gizi merupakan salah satu dari 11 Konsil Tenaga Kesehatan yang ada di Indonesia. Konsil Gizi telah dilantik pada 21 Juli 2022 sesuai dengan SK Presiden RI Nomor 31/M Tahun 2022 tentang Pengangkatan Keanggotaan Konsil Masing-Masing Tenaga Kesehatan. Terbentuknya Konsil Gizi semakin memperkuat dan memberikan peluang lebih besar untuk kemajuan pendidikan dan profesi gizi di Indonesia.
AIPGI, sebagai Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi di Indonesia menyambut baik pembentukan dan pelantikan Konsil Gizi. Sejak awal pembentukan AIPGI pada 16 Desember 2003 silam, bahkan telah ditetapkan bahwa salah satu tujuan AIPGI adalah bersama Konsil Gizi, Koligium Ilmu Gizi dan Organisasi Profesi berperan secara substantif dalam menyusun dan mengkaji ulang kurikulum pendidikan tinggi gizi di Indonesia.
Sesuai dengan tujuan AIPGI dan dalam rangka memperkuat sinergitas Konsil Gizi dan AIPGI maka diadakan pertemuan sekaligus rapat koordinasi pertama antara Konsil Gizi dan AIPGI yang dilakukan secara luring pada Rabu, 19 Oktober 2022 di Kampus Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Hang Jebat, mulai pukul 14.00 – 16.00 WIB. Pertemuan ini memiliki tiga agenda utama, yaitu perkenalan dan sosialisasi, rencana fasilitasi penyusunan standar nasional pendidikan tenaga gizi, diskusi terkait isu dan permasalahan pendidikan dan profesi gizi saat ini. Pertemuan ini dihadiri oleh Ketua Konsil Gizi, Ibu Gunarti, DCN, M.M, RD beserta seluruh anggota Konsil Gizi. Perwakilan AIPGI dalam pertemuan ini yaitu Prof. Dr. Hardinsyah, MS (Ketua Umum AIPGI), Dr. Budi Setiawan, MS (Sekretaris Umum AIPGI), Prof. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si (Ketua Program Sarjana), Wahyu Kurnia Yusrin Putra, SKM, MKM (Sekretaris II) dan Khoirul Anwar, S.Gz, M.Si (Perwakilan Anggota AIPGI).
Kegiatan pertemuan dan diskusi berlangsung baik dan lancar. Selesai dengan perkenalan singkat dan pemaparan profil masing-masing, dilanjutkan dengan pemaparan oleh Konsil Gizi terkait dengan rencana fasilitasi penyusunan standar nasional pendidikan tenaga gizi. Ketika sesi diskusi, sempat ditambahkan informasi dari Konsil Gizi bahwa standar nasional pendidikan tenaga gizi sudah pernah disepakati sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Hardinsyah, MS, kedalaman standar ini masih perlu ditingkatkan dan masih bersifat umum karena belum mengatur standar pendidikan tenaga gizi dari berbagai jenjang pendidikan (D3, D4, S1, Profesi, S2 dan S3).
Saat diskusi terbuka, isu lain yang dibahas yaitu pelaksanaan uji kompetensi nutrisionis sarjana gizi, kendala saat pengajuan STR dan “moratorium” pendidikan profesi dietisien. Uji kompetensi nutrisionis sarjana gizi memang menjadi isu yang sering dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari polemik yang muncul terkait dasar hukum pelaksanaan uji kompetensi bagi lulusan sarjana gizi. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 21, dijelaskan bahwa mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional. Peraturan ini hanya mewajibkan uji kompetensi bagi vokasi dan profesi, tidak ada kewajiban bagi lulusan sarjana gizi untuk mengikuti uji kompetensi. Perlu dicermati bahwa uji kompetensi bagi sarjana gizi memang tidak harus tetapi juga tidak dilarang. Faktanya sarjana gizi tetap memerlukan STR, dan dalam proses pengajuan STR diperlukan sertifikat kompetensi yang hanya diberikan pada mereka yang sudah mengikuti uji kompetensi, selain itu sarjana gizi juga tetap diakui sebagai salah satu tenaga kesehatan. Mempertimbangkan beberapa hal tersebut, Konsil Gizi dan AIPGI sepakat untuk tetap melaksanakan uji kompetensi bagi sarjana gizi, Konsil Gizi juga menyatakan kesiapan jika diperlukan sebagai pengawas dalam kegiatan ini.
Pengajuan STR saat ini memang masih menggunakan sistem yang sama, yang membedakan yaitu sistem ini sudah dipegang oleh Konsil Gizi. Memang selama peralihan sistem, lulusan yang mengikuti uji kompetensi tahun 2021 akan kesulitan mengajukan STR secara online karena nomor sertifikat kompetensi tidak bisa diketik manual. Bagi lulusan yang sudah mengikuti uji kompetensi dan memiliki akun di sistem ini sebelum tahun 2021 tidak mengalami kendala saat pengajuan e-STR. Konsil Gizi menyampaikan akan menjalin komunikasi ke Tim IT agar nomor sertifikat kompetensi dapat kembali diketik manual.
Isu terakhir yang dibahas yaitu tentang “moratorium” pendidikan profesi dietisien. Saat ini di Indonesia hanya ada sembilan prodi profesi dietisien. Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan prodi sarjana gizi yang berjumlah 136 prodi dengan perkiraan lulusan setiap tahunnya mencapai 5000 orang. Pendirian prodi dietisien perlu digalakkan dan dipercepat untuk memfasilitasi lulusan sarjana gizi yang ingin melanjutkan pendidikan ke ranah profesi. Pengajuan borang dan syarat pendirian prodi profesi dietisien sampai saat artikel ini dimuat masih terkendala karena tidak ada pilihan untuk mengunggah file persyaratan di Sistem Pengembangan Kelembagaan Perguruan Tinggi Dirjen Dikti. Hal ini tentu dapat menghambat upaya mempercepat pendirian prodi profesi dietisien di Indonesia. Kondisi ini menarik perhatian Konsil Gizi dan AIPGI, kedua institusi bersepakat untuk bersurat resmi ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar “moratorium” pendidikan profesi dietisien ditiadakan. Isu-isu yang dibahas dan beberapa kesepakatan dalam pertemuan koordinasi Konsil Gizi dan AIPGI, mencerminkan komitmen kedua institusi untuk memajukan pendidikan dan profesi gizi di Indonesia. Sebagai tindak lanjut, akan dilaksanakan pertemuan secara luring di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2022 untuk membahas standar praktik nutrisionis dan dietisien. (AGR)